MENGEJAR HIDUP YANG AKUNTABEL

Pintu gerbang kota di masa umat Allah di Perjanjian Lama punya peranan yang sangat penting. Di tempat itulah para tua-tua kota duduk untuk memutus perkara, disaksikan pendudukkota. Hal ini menegaskan peran komunitas sebagai penjagaakuntabilitas seseorang yang membuat janji atau kesepakatanhingga ia memenuhinya. Sebagai contoh, dalam Rut 4:1-13 Boas di hadapan para saksi mendeklarasikan bahwa ia membeli daritangan Naomi milik pusaka Elimelekh, suaminya yang telahmati, juga milik kedua anak lelakinya yang juga telah mati, termasuk Rut untuk menjadi istrinya demi meneruskanketurunan orang-orang yang meninggal itu. Dengan restu dan berkat dari para saksi tersebut janji itu dimateraikan hinggadipenuhi oleh Boas.

Di jaman Perjanjian Baru, tradisi perjanjian di pintu gerbangkota itu nampaknya tak lagi ada karena situasi geopolitik yang juga sudah berubah. Namun Paulus masih mempertahankanprinsip berharga tersebut, yang tersirat dalam pesannya kepadaTimotius di 2 Tim 2:2a. Yaitu bahwa pengajarannya tidak hanyaditeruskan kepada Timotius dalam ruang privat, namundisaksikan oleh orang-orang lainnya. Apa gunanya? Salah satunya adalah untuk verifikasi bahwa apa yang diajarkannya itubenar dan bahwa hidupnya selaras dengan pengajarannya. Di sisi yang lain, dengan disaksikan orang lain pada waktumenerima pengajaran Timotius juga punya verifikator apakahhidupnya selaras dengan apa yang diterimanya, dan apakah iamengajarkannya kepada orang lain konsisten dengan apa yang diterimanya.

Di jaman yang mengagungkan privacy dan individualisme, yang cenderung menolak pengamatan orang lain atas hidupnya dan makin renggang dari ikatan sosial, orang Kristen ditantang untukterus menghadirkan peranan para saksi demi hidup (dan pengajaran) yang akuntabel. Punyakah Saudara orang-orang dekat yang kepada mereka Saudara bisa saling membuka dirisecara otentik dan mempercayakan diri untuk diamati, diingatkan, ditegur, dan dibantu untuk menghidupi komitmenhidup sebagai para pengikut Kristus (mimeetai)? Berdoalah, temukanlah, percayakanlah hidupmu.

by Ev. Johan A. Santoso